Korupsi Dalam Perspektif Agama

Perspektif agama tentang korupsi
Korupsi Dalam Perspektif Agama
Agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu berperan penting. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun, pada kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-orang beragama.

Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk hidup jujur, lurus, dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang diharamkan agama dan tindakan pendosa. Logikanya seseorang yang beragama atau memegang teguh ajaran agamanya tidak akan melakukan korupsi.

Penyebabnya tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Harus disadari bahwa kelakuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh agamanya. Ada banyak faktor yang memengaruhi orang untuk bertindak atau berperilaku koruptif, antara lain faktor genetik, faktor neurologis, faktor psikologis, faktor sosiologis, faktor pendidikan dan pengasuhan.

Ada faktor lain yang bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai godaan manusiawi, yaitu nilai – nilai agama tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di masyarakat, ketiadaan apresiasi terhadap nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya disiplin diri dan etika dalam bekerja, serta adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri sendiri.

Dengan gaya hidup modern sekarang ini, orang dengan mudah melupakan atau dengan sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu melakukan tindak pidana korupsi.  Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang berbau religi. Dalam hal ini tentu harus ada introspeksi diri dari kita semua, termasuk dari para pemuka agama.

  • Perspektif dalam agama Islam mengenai korupsi

Islam sebagai agama yang (syamil) sangat mengharamkan praktik suap – menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap – menyuap sebagaimana hadits tersebut. Dalam agama islam praktik – praktik korupsi itu digolongkan ke dalam 4 bagian yaitu:
  1. Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ yang artinya “Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi”. (HR. Abu Dawud dari Buraidah). Jadi semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender tersebut. Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh. Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.
  2. Sariqah Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi – sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi – sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang – undang. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah saw: لا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ yang artinya “Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman” (HR al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
  3. Khianat, Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat. Oleh karena itu, Allah SWT. sangat membenci dan melarang khianat. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ yang artinya“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS al-Anfâl: 27). Kemudian di dalam QS. Al Imran: 161 Allah berfirman: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” Orang – orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah saw. melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula. Sabda beliau: أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ yang artinya “Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu” (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah).
  4. Risywah (suap), Secara harfiyah, suap (risywah) berarti البِرطيل “batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip”. Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah SWT: سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ yang artinya “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (QS al-Mâidah: 42) Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-Murtasyi), kedua, penyuap (al-Rasyi), dan ketiga, suap (al-Risywah). Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap) termasuk perbuatan yang bathil. Allah SWT berfirman: لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ yang artinya “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS al-Baqarah: 188). Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah saw. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah saw. bersabda: لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ yang artinya “Rasulullah saw. melaknat penyuap dan yang disuap”.  Riwayat yang lain, Ahmad ibn Hanbal dari Tsauban r.a. berkata: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا yang artinya “Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara. Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya”.

  • Perspektif dalam agama Kristen mengenai korupsi

Di dalam perspektif agama Kristen identik dengan mencuri.Dalam 10 Perintah Tuhan, larangan kedelapan adalah larangan untuk mencuri. 10 Perintah Tuhan adalah salah satu norma yang dituangkan di Alkitab Perjanjian Lama dan merupakan inti dari etika Alkitab Perjanjian Lama. Dalam Keluaran 20:15, Allah berfirman “Jangan mencuri”. Demikian jelasnya larangan Tuhan untuk tidak mencuri. Sementara itu korupsi adalah mencuri dengan cara diam – diam, dengan cara halus mengurangi hak negara atau orang lain demi kepentingan pribadi. Larangan mencuri juga dikemukakan Yesus dalam bentuk yang berbeda, yaitu hukum mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22:39; Mark 12:31; Lukas 10:27). Hukum ini sama dengan hukum pertama, yaitu hukum untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan dengan segenap akal budi.

Korupsi adalah perbuatan melanggar hukum. Firman Allah yang tertulis lengkap dalam Alkitab juga menyebutkan bahwa orang Kristen pun selain wajib taat perintahNya, juga berlaku sama terhadap hukum yang berlaku. Ini jelas tertulis dalam Roma 13:3, yang menyatakan “jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah (hukum), hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah (hukum)? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian daripadanya.

Untuk menjaga dari kekhawatiran akan segala kekurangan yang ujungnya melahirkan keinginan korupsi, Allah juga menegaskan dalam firmannya. Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?(Matius 6:25-34).

Perlu direnungkan atau dimaknai pada Matius 4: 4 tertulis bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja , tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” artinya bahwa manusia hidup bukan untuk makan, mengumpulkan harta tetapi memaknai firman Allah yaitu menjalankan perintahnya . Namun pada modern ini manusia lebih mementing kepentingan individualismenya.

  • Perspektif dalam agama Budha mengenai korupsi

Dalam agama Buddha dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia. Lingkungan yang buruk banyaknya korupsi akan menarik jatuh seseorang ke jurang kejahatan jikalau ia tidak memiliki kebijaksanaan (panna atau prajna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan di sini terutama ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik dalam hal ini korupsi yang mungkin saja bisa mempengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri.

Salah satu Aturan moralitas Buddhis (sila) dalam Lima Aturan moralitas Buddhis (pancasila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang – barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang – barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa dikatakan melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke dua Lima Aturan moralitas Buddhis (pancasila), dikarenakan memenuhi syarat – syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).

Korupsi termasuk melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke dua mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya dan akan mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (pancasila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila).

Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk:
  1. Menipu (kuhana),
  2. Membual (lapana),
  3. Memeras (nemittakata),
  4. Menggelapkan (nippesikata),
  5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha). 
Di dalam sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut Sang Buddha menjelaskan bahwasanya cara – cara kita dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang – orang terhadap profesi tersebut.

Peran agama tetaplah penting dan bersamaan dengan itu hukum positif harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi harus menjadi kegiatan serius negara yang dilakukan secara berkesinambungan.

Comments